BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masalah
gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara
berkembang dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi kurang,
hubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju cenderung dengan masalah gizi
lebih (Soekirman, 2000).
Saat
ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan, Indonesia menghadapi permasalahan gizi ganda. Di satu pihak masalah gizi
kurang yang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang gizi. Selain itu masalah gizi lebih yang disebabkan oleh kemajuan
ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan
tentang gizi (Azrul,2004).
Penanganan
gizi buruk sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam menciptakan
sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Upaya peningkatan sumber
daya manusia yang berkualitas dimulai dengan cara penanganan pertumbuhan anak
sebagai bagian dari keluarga dengan asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan
lingkungan keluarga yang sehat, maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit
masyarakat lainnya dapat dihindari. Di tingkat masyarakat faktor-faktor seperti
lingkungan yang higienis, ketahanan pangan keluarga, pola asuh terhadap anak
dan pelayanan kesehatan primer sangat menentukan dalam membentuk anak yang
tahan gizi buruk.
Secara
makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi
lintas sektor dari pemerintah dan semua stakeholders
untuk menjamin terlaksananya poin-poin penting seperti pemberdayaan masyarakat,
pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pendidikan yang secara tidak
langsung akan mengubah budaya buruk dan paradigma di tataran bawah dalam hal
perawatan gizi terhadap keluarga termasuk anak.
Keberhasilan
pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat
ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia. Indikator yang digunakan untuk
mengukur tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pada umumnya IPM
dan IKM mempunyai komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat
kesehatan), penguasaan ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan standar
kehidupan yang layak (tingkat ekonomi). Pada IPM, standar hidup layak dihitung
dari pendapatan per kapita, sementara IKM diukur dengan persentase penduduk
tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas kesehatan, dan balita kurang gizi.
Tiga
faktor utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status
gizi masyarakat. Pada tahun 2003 IPM Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara,
sementara IKM pada peringkat 33 dari 94 negara. Jika dibandingkan dengan Negara
ASEAN lainnya, dapat dilihat pada tabel berikut:
NEGARA
|
IPM
|
PERINGKAT
|
IKM
|
PERINGKAT
|
Singapore
|
88.4
|
28
|
6.3
|
6
|
Brunei
Darussalam
|
87.2
|
31
|
-
|
-
|
Malaysia
|
79.0
|
58
|
-
|
-
|
Thailand
|
76.8
|
74
|
12.9
|
24
|
Philipine
|
75.1
|
85
|
14.8
|
28
|
Vietnam
|
68.8
|
109
|
19.9
|
39
|
Indonesia
|
68.2
|
112
|
17.9
|
33
|
Cambodia
|
55.6
|
130
|
42.8
|
73
|
Myanmar
|
54.9
|
131
|
25.7
|
45
|
Laos
|
52.5
|
135
|
40
|
66
|
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat
Salah
satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan
gizi yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang gizi
akan berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat
pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan,
menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Visi
pembangunan gizi adalah “Mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai
status gizi masyarakat/keluarga yang optimal”.
Secara
umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama, yaitu kurang gizi mikro dan
kurang gizi makro. Kurang gizi makro pada umumnya disebabkan oleh kekurangan
asupan energi dan protein dibanding kebutuhannya yang menyebabkan gangguan
kesehatan, sedangkan kurang gizi mikro disebabkan kekurangan zat gizi mikro
(Dinkes Purworejo,2006). Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjdinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan
menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalu sedikit
dibawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh dibawah standar disebut gizi
buruk. Menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5
juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang dan
1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO tahun 1999 mengelompokan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam empat kelompok, yaitu rendah
(<10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (>30%).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari gizi buruk?
2. Apa faktor penyebab dari gizi buruk?
3. Apa saja tipe dari gizi buruk?
4. Apa akibat yang timbul dari gizi buruk?
5. Apa saja pecegahan terhadap gizi buruk?
6. Bagaimana masalah gizi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari gizi buruk.
2. Untuk mengetahui penyebab dari gizi buruk.
3. Untuk mengetahui tipe dari gizi buruk.
4. Untuk mengetahui akibat dari gizi buruk.
5. Untuk mngetahui pecegahan terhadap gizi buruk.
6. Untuk mengetahui masalah gizi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Gizi
buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat
berat yang disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi, protein serta
makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus ( menurut BB terhadap
TB ) dan hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau
marasmic-kwashiorkor.Ada beberapa cara untuk mengetahui seorang anak terkena
busung lapar (gizi buruk) yaitu :
1. Dengan cara menimbang
berat badan secara
teratur setiap bulan. Bila perbandingan berat badan dengan umurnya dibawah 60% standar
WHO-NCHS, maka dapat dikatakan anak tersebut terkena busung lapar (Gizi Buruk).
2. Dengan mengukur tinggi badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) bila tidak sesuai dengan
standar anak yang normal waspadai akan terjadi gizi buruk.
2.2 Faktor Penyebab Gizi Buruk
Banyak faktor yang yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Penyebab gizi buruk terdiri dari penyebab langsung dan
tidak langsung. Penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu:
Hal ini disebabkan terbatasnya
jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Bayi dan balita tidak mendapat
makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu air
susu ibu, dan sesudah usia enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak
hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin
A, asam folat, vitamin B, serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat
dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang rendah sering kali anaknya harus puas dengan
makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan.
Hal ini disebabkan oleh rusaknya
beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Terjadinya kejadian infeksi penyakit
ternyata mempunyai hubungan timbal balik dengan gizi buruk. Anak yang menderita
gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga anak rentan terhadap
penyakit infeksi. Disisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung
menderita gizi buruk cakupan pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi,
penanganan diare, tindakan cepat pada balita yang tidak naik berat badan,
pendidikan, penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu,
penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan akan menentukan tinggi rendahnya
kejadian penyakit infeksi. Mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini
seperti demam berdarah, diare, polio, malaria, dan sebagainya secara hampir
bersamaan dimana-mana, menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan yang ada di
daerah. Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan
balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang
bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO
memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh
keaadaan gizi anak yang jelek.
Ada berbagai penyebab tidak langsung yang
menyebabkan gizi kurang diantaranya yaitu:
1.
Ketahanan
pangan keluarga yang kurang memadai.
Setiap keluarga diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Namun kemiskinan kadang menjadikan
hambatan dalam penyediaan pangan bagi keluarga.
2.
Pola pengasuhan
anak kurang memadai.
Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial. Di masa modern
ini pengasuhan anak kadang kita serahkan kepada pembantu yang belum tentu tahu
perkembangan dan kebutuhan makan anak.
3.
Pelayanan
kesehatan dan lingkungan kurang memadai.
Sistim pelayanan kesehatan yang
ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Berbagai
kesulitan air bersih dan akses sarana pelayanan kesehatan menyebabkan kurangnya
jaminan bagi keluarga. Pokok masalah gizi buruk di masyarakat yaitu
kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Hal
ini dapat ditanggulangi dengan adanya berbagai kegiatan yang ada di masyarakat
seperti posyandu, pos kesehatan.
Ketiga
faktor tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan,
dan keterampilan, terdapat kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, semaikin baik pola pengasuhan anak, dan semakin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Berbagai
faktor langsung dan tidak langsung di atas, berkaitan dengan pokok masalah yang
ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di
masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga
mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan
anak yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
tersedia. Akar masalah gizi buruk adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan
keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan
meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh
krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia. Keadaan
tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan
pangan keluarga yang tidak memadai.
2.3 Tipe Gizi Buruk
Menurut situs Dinas Kesehatan Pemda Ibukota Jakarta,keadaan gizi
buruk ini secara klinis dibagi menjadi 3 tipe:
1. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu keadaan di
mana tubuh kekurangan protein dalam jumlah besar. Selain itu, penderita juga
mengalami kekurangan kalori. Nama kwashiorkor berasal dari suatu daerah di
Afrika, artinya “penyakit anak yang terlantar” atau disisihkan karena ibunya
mengandung alergi dan tidak lagi memberikan air susu ibu padanya. Tanpa
mengganti air susu ibu dan dapat tambahan pangan yang seimbang anak (umumnya
berumur kurang lebih 18 bulan) kurang mendapat protein. Jenis penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun pada keluarga berpenghasilan rendah, dan umumnya kurang
sekali pendidikannya. Kurang protein pangan adalah penyebab utama
kwashiorkor sedang zat pangan pemberi tenaga mungin cukup diperolehnya atau
bahkan berlebihan. Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan
makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi
masalah di negara-negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika Tengah,
Amerika Selatan dan Asia Selatan. Di negara maju seperti Amerika Serikat
kwashiorkor merupakan kasus yang langka. Berdasarkan SUSENAS (2002), 26% balita
di Indonesia menderita gizi kurang dan 8% balita menderita gizi buruk.Anak
dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya
sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan
pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara
statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi
dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen. Penanganan dini pada kasus-kasus
kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang baik. Penanganan yang terlambat (late
stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan anak secara umum, namun anak
dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan gangguan intelektualnya.
Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau penanganannya yang
terlambat, akan memberikan akibat yang fatal. Penyebab terjadinya kwashiorkor
adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis. Faktor yang dapat
menyebabkan hal tersebut diatas antara lain:
a. Pola makan
Protein
adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang
cukup, tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi
yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya,
namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu,
telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan
ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadinya
kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
b. Faktor sosial
Hidup
di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan
politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan
tertentu dan sudah berlansung turun-temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan
terjadinya kwashiorkor.
c. Faktor ekonomi
Kemiskinan
keluarga/penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat
pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak
dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
d. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah
lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun
dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
Tanda dan
gejala klinis yang timbul pada kwashiorkor antara lain:
a.
Rambut tipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah
dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit.
b.
Edema pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki
dan bila ditekan akan meninggalkan bekas.
c.
Kelainan kulit (dermatosis)
seperti timbulnya ruam berwarna
merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
d.
Wajah membulat dan sembab (moon face).
e.
Pandangan mata sayu.
f.
Pembesaran hati.
g.
Sering disertai penyakit infeksi
akut, diare, ISPA, dll.
h.
perubahan status mental
menjadi cengeng, rewel, kadang apatis.
i.
Otot mengecil (hipotrofi)dan menyebabkan lengan
atas kurus sehingga ukuran LILA-nya kurang dari 14 cm.
Dari
sekian banyak gejala klinis, ada beberapa gejala klinis tersebut yang khas pada
penderita kwashiorkor. Tanpa gejala klinis yang khas ini, penegakkan diagnosis
kwashiorkor tidak dapat ditegakkan. Gejala yang khas tersebut adalah edema,
rambut yang tidak hitam, mudah rontok, jarang dan tipis, perut buncit karena
hepatomegali, dan crazy pavement dermatosis. Karena adanaya edema, maka
kwashiorkor bisa disebutedematous protein calorie malnutrition.
2. Marasmus
Marasmus adalah bentuk
malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan
kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak
bawah kulit dan otot (Dorland, 1998:649). Yang
mencolok pada keadaan nutritional
marasmus ialah pertumbuhan yang berkurang atau terhenti disertai atrofi otot
dan menghilangnya lemak bawah kulit. Pada permulaan kelainan demikian merupakan
proses fisiologik. Untuk berlangsungnya hidup jaringan, maka tubuh memerlukan
energi yang tidak dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, sehingga harus
didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein dipakai juga untuk
memenuhi energi. Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang
dapat terjadi karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat,
karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital (Nelson,1999). Marasmus
dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang
tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering
diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain
seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi,
gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat
(Dr. Solihin, 1990:116). Tanda dan gejala yang terjadi seperti:
1. Wajah seperti orang tua.
3. Sering disertai penyakit infeksi (diare, umumnya kronis
berulang, TBC).
5. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (pakai celana longgar-baggy pants).
6. Perut cekung.
7. Iga gambang.
Karena
tidak ada edema, maka marasmus sering disebut non edematous protein
calorie malnutrition.
3. Marasmic-Kwashiorkor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashiorkor
dengan gabungan gejala yang menyertai seperti:
a. Berat badan penderita hanya berkisar di angka
60% dari berat normal. Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas,
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan sebagainya.
b. Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak
dan otot.
c. Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga
menyebabkan gangguan metabolik seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.
d. Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti
meningkatnya kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya
kadar magnesium.
Gejala klinis
Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala
masing-masing penyakit tersebut.
2.4
Akibat Gizi Buruk
1. Menyebabkan kematian bila tidak segera
ditanggulangi oleh tenaga kesehatan.
2. Kurang cerdas.
3. Berat dan tinggi badan pada umur dewasa lebih
rendah dari normal.
4. Sering sakit infeksi seperti
batuk,pilek,diare,TBC,dan lain-lain.
2.5 Pencegahan Gizi Buruk
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan
tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2. Anak diberi makanan yang bervariasi, seimbang antara
kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya
untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein
12% dan sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti
program posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di
atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas
pola dan jenismakanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5. Jika anak menderita karena kekurangan gizi, maka segera
berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan
setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada
kondisi
yang sudah berat, terapi bisa
dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya
akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul
masalah intelegensia di kemudian hari.
2.6 Masalah Gizi di Indonesia
dan kurang gizi mikro. Kurang gizi
makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Kesepakatan
global dalam bidang pangan dan gizi terutama World Summit for Children 1990,
international Conference on Nutrition 1992 di Roma dan World Food Summit 1996 menetapkan sasaran program pangan dan
perbaikan gizi yang harus dicapai oleh semua negara. Sasaran global tersebut
sampai saat ini menjadi salah satu acuan pokok di dalam pembangunan program
pangan dan gizi di semua negara termasuk Indonesia. Pembangunan program pangan
dan gizi di Indonesia selam 30 tahun terakhir menunjukan hasil yang positif.
Analisis penyediaan pangan tahun 1999 secara makro disimpulkan bahwa persediaan
energi dan protein per kapita/hari masing-masing sebesar 2.890 Kkal dan 62,7
gram, telah memenuhi kecukupan yang
dianjurkan. Masalah pangan baru terlihat pada tingkat konsumsi rumah tangga.
Data tahun 1998 menunjukan bahwa antara 49% sampai 53% rumah tangga di berbagai
daerah mengalami defisit energi (konsumsi < 70% kebutuhan energi). Defisit
pangan di tingkat rumah tangga disertai distribusi pangan antar anggota
keluarga yang tidak baik didasari pengetahuan atau perilaku gizi yang belum memadai berakibat
munculnya masalah kurang gizi.
Gambaran
makro perkembangan keadaan gizi masyarakat menunjukan kecenderungan yang
sejalan. Prevalensi kurang energi protein pada balita turun dari 37,5% pada
tahun 1989 menjadi 26,4% pada tahun 1999. Penurunan serupa juga terjadi pada
prevalensi masalah gizi lain. Prevalensi gangguan akibat kurang yodium, kurang
vitamin A, dan anemia gizi pada tahun 1998 masing-masing 9,8%, 0,3%, dan 50,9%.
Dibandingkan dengan sasaran global yang disepakati, keadaan gizi masyarakat di
Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagai contoh, pada tahun 2005 diharapkan
terjadi penurunan prevalensi kurang energi protein menjadi 20%, gangguan akibat
kurang yodium menjadi 5%, anemnia gizi menjadi 40%, dan bebas masalah kebutaan
akibat kurang vitamin A.
Krisis
ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat.
Selama krisis, ada kecenderungan meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk terutama pada kelompok umur 6-23 bulan. Munculnya kasus-kasus marasmus,
kwashiorkor merupakan indikasi adanya penurunan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga. Upaya untuk mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di
masa mendatang harus dilakukan segera dan direncanakan sesuai masalah daerah
sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Provinsi sebagai daerah otonom, mengatur kewenangan pemerintahan
daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan termasuk pembangunan di
bidang pangan dan gizi. Iklim baru ini merupakan peluang untuk percepatan
pencapaian sasaran nasional dan global. Adanya kebijakan dan strategi yang
tepat, program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan akan sangat mendukung pencapaian sasaran nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gizi buruk adalah bentuk terparah
(akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh
rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari dan
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Penyebab gizi buruk terdiri dari penyebab
langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Sedangkan penyebab tidak
langsungnya yaitu ketahanan pangan
keluarga yang kurang memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai, pelayanan
kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Tipe gizi buruk terdiri dari
marasmus, kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor.
3.2 Saran
Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus
gizi buruk terlambat. Seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan
disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus
gizi buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan (serius). Keseriusan
pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri.
Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah,anak-anak
yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu
hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang
diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data
dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat
menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Dan
seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk anaknya yang
nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar